Jumat, 29 Agustus 2014

Man Saara Ala Darbi Washala (Rantau 1 Muara A.Fuadi)

Sejak detik aku melanjutkan membaca Rantau 1 Muara ciptaan seorang darah Minang yang luar biasa bernama Ahmad Fuadi yang merupakan lulusan Gontor, S1 UNPAD HI dan S2 Beasiswa Fulbright di George Washington University di Amerika. Ceritanya begitu menggebu, membuat aku ikut terbakar dalam semangat perjuangannya meraih cita-cita.

Mulai sejak Juli kemarin, semua ilmu yang ada di otakku akan aku gunakan untuk meraih satu cita-cita yang menjadi pilihan kepala-kepala pandai seluruh dunia. Kursi Perguruan Tinggi. Rasanya 8 bulan adalah waktu yang terlalu singkat. Jikalau aku bertemu jin teko Alladin, aku hanya akan meminta 1 permintaan, membuat 8 bulan terasa sangat lama bagiku.

Permintaan itu tidaklah mungkin. Allah rupanya lebih mendengarkanku dibandingkan jin teko Alladin. 8 bulan ini akan terasa sangat lama. Ini baru 3 minggu, dan rasanya sudah ingin menyerah saja.

Menyerah adalah extra option bagiku. Jika memang tidak bisa dipertahankan, menyiksa diri, untuk apalah. Tapi semua yang aku terapkan dalam hidup rupanya salah besar.

Jika pernah mendengar trilogi "Negeri 5 Menara', "Ranah 3 Warna, dan "Rantau 1 Muara", ini adalah bacaan favoritku. Belum ada buku lain yang membuat aku begitu mencintai dan mensyukuri semua nikmat Allah. Dalam Q.S Ar-Rahman sendiri jelas-jelas tertulis "Fa bi ayyi aa laa irabbikumaa tukadz dzibaan" diulang 31 kali dengan arti "Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?" . Untuk apa lagi aku mengeluh atas hal yang sebenarnya sudah sangat cukup untukku? Untuk apa lagi aku mencari hal yang sebenarnya sudah aku miliki? Kenapa harus aku keluhkan segala nikmat terselubung ini?

Awalnya, aku merasa bahwa sekolah sangat menyiksa. Rasanya di luar negeri tidak ada yang belajar se-ekstrim di Indonesia. Anak seumuran kami, 15-17 tahun sudah dituntut untuk mempelajari berbagai pelajaran eksak yang terlalu rinci. Untuk apa sekolah menghabiskan waktu hingga 8 jam, hingga tugas yang bahkan terasa mencekik. Banyaknya materi pembelajaran bahkan pelajaran itu sendiri mencapai angka 16 pelajaran dan tidak menutup kemungkinan untuk menjadi bertambah banyak.

Semua aku keluhkan. Tapi Dia, menertawakanku..

Hingga Allah memberikan aku jawabannya, lewat sebuah kupon Gramedia sebesar 25.000 yang berakhir masa berlakunya pada tanggal 31 Juli kemarin. Aku mengajak kakakku yang paling tampan itu ke Gramedia yang kemudian menraktirku hari itu. Dia membelikan aku novel yang sudah aku tunggu, lebih tepatnya menunggu kesanggupan rezekiku untuk membelinya. Setiap menyentuh bahkan melihat covernya saja, rasanya semua bulu di tubuh ini berdiri. Sebegitu dahsyatnya buku ini, begitu kokoh dan mendalam, berisi kejujuran yang selama ini aku hauskan. 

Beberapa kalimat menjadi penyemangat hidupku yang baru. Entah mengapa, hanya dalam 5 hari aku tamatkan novel itu, hidupku serasa menjadi selangkah lebih maju. Aku mulai merasa lebih dewasa secara batiniah. Semua yang menjadi pertanyaanku selama ini terjawab sudah. Di dalam buku itu, halaman 159, terkandung jawaban yang bahkan membacanya saja membuat aku menangis. Ini kutipannya : 

' "Ini adalah esensi dari filosofi Minang, bahwa alam terkembang adalah guru. Ini juga esensi dari syair tentang perantau dari Imam Syafii." Aku kemudian membacakan ke Dinara potongan syair yang menggetarkan itu, "... Merantaulah, kau akan mendapat pengganti kerabat dan teman... Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang..." '

Aku membaca kutipan di atas tepat saat jam menjelang istirahat sekolah, mataku berkaca-kaca sebelum aku dipanggil seorang temanku yang menanyakan apa yang sedang aku baca. 

Setelah aku membaca goresan tinta paling indah yang pernah aku lihat itu, hidupku berubah 180 derajat. Aku menjadi begitu rela berlelah-lelah menjalani rutinitasku. Tugaskah, belajarkah, tambahankah, bahkan ekstra waktu untuk solat pun menjadi aku lakukan dengan begitu ikhlasnya. Betapa kuatnya kutipan syair Imam Syafii itu untukku. Bahkan sekarang, aku mencari kesibukan sendiri, yang inti purpose nya adalah supaya aku lelah. Hanya itu tujuanku.

Aku ingat, malam itu aku baru saja pulang dari Inten. Semenjak kelas 12, kewajibanku bertambah, sekolah dari jam 6.30 - 14.45, dilanjutkan INTEN 15.30 - 18.35 dan aku melakukan itu tanpa diselingi pulang ke rumah. Barulah aku melepas rindu dengan kamarku jam 19.30 karena perjalanan berjuang bersama banyaknya orang kantoran yang baru pulang. Aku kehujanan. Di perempatan lampu merah SAMSAT dan Carefour, aku berhenti. Aku melihat motorku sendiri, aku melihat jam tanganku, aku melihat baju seragamku, aku melihat kaus kakiku yang sudah kotor kuyup karena air yang terciprat dari aspal Jalan Soekarno-Hatta, lalu aku tersenyum sampai gigiku dapat merasakan dinginnya Bandung. Inikah perjuangan orang sukses itu?

Aku memakai baju seragam itu selama 13 jam. Aku memaknainya "Ini adalah kali terakhir kamu menikmati putih abumu". Setiap harinya aku mengerjakan soal demi soal yang sulit dengan sabar seraya berkata "Ini tantangan terakhirmu di bangku kursi coklat kayu ini". Setiap saat aku memikirkan tentang gadget apa yang bisa menggantikan BB ku yang sebenarnya masih indah berumur 1,5 tahun ini. tapi hati selalu menyanggah "iPhone, lenovo, samsung, semua tinggal pilih. Saat kamu sudah duduk di kursi PTN yang menjadi pilihan penentu masa depanmu itu". Sedikit berlebihan tapi ini mampu membuatku tidak terbawa arus permainan "Let's Get Rich" yang kemudian aku beri nama "Let's Get Poisoned". Ini juga mampu membuat aku bertahan menghadapi soal Fisika, Kimia dan Matematika yang selalu aku panggil "Si Laknat" ini. Aku baru ingat, yang bisa melaknat ilmu ini adalah penemunya, bahkan dia pun belum tentu bisa melaknat karena yang sering melaknat dan selalu pamungkas hanyalah Allah.

Pada akhirnya aku sadar..

Semua yang aku lakukan, menjadi rutinitasku, adalah pilihanku sendiri. Mulai dari sekolah, kegiatan luar sekolah, bahkan sampai nonton film marathon pun itu adalah pilihanku. Bukankah tugasku disini hanya sebagai khalifah, menjadi hamba Allah dan belajar menuntut ilmu demi kenaikan derajatku?

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Tadi aku baru saja membuka pintu pagar dan garasi, Ibuku baru saja pulang membawa makanan-makanan kesukaanku: siomay, tumis daun pepaya dan jengkol. Saat aku tengah mengaduk jengkol yang sedang aku panaskan karena takut basi untuk esok hari, Ayahku melihat ekor tikus di rak penyimpanan Tuppe*ware. Ini jagonya Ayah, gebukkin tikus sampai mampus. SUKSES! Setelah aku membantu memberikan space untuk Ayahku memukuli mangsanya alias kabur, aku melihat tikus itu jumpalitan dipukuli Ayah dengan sapu ijuk dan akhirnya, mati. Aku tertawa-tawa melihat Ayahku seperti baru saja kedatangan perampok yang kemudian berhasil ia habisi. Ia memukulinya dengan segenap jiwa raga, sampai aku bisa mendengar gemertuk gigi Ayah karena begitu "gemas"nya dengan tikus yang tidak terlalu besar itu.

Lalu, aku lanjutkan mengaduk. Tapi aku tiba-tiba berpikiran tentang tikus tadi. Jika aku berada di tempat yang tidak tepat dan melakukan hal yang tidak seharusnya aku lakukan, aku layaknya tikus tadi. Dianggap perampok dan dihabisi oleh pemilik tempatnya. Kalaulah aku masuk ke sebuah PTN favorit dengan minat tertinggi dan masa depan sangat jelas, tapi tidaklah sesuai dengan kondisi "siapa aku" alias tidak cocok dengan kepribadian dan kemampuanku, kemudian aku tidak bisa bertahan disana, rasanya bukanlah cita-cita semua orang. Beginilah cara Allah memberikan petunjuknya. Manusia yang perlu berlatih peka terhadap tanda-tandaNya yang begitu jelas.

Siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai di tujuan.. Man Saara Ala Darbi Washala..

Rupanya, novel Rantau 1 Muara karya Bang Fuadi ini mampu membuatku lebih peka dan pandai menganalogikan berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarku. Tak hanya itu, novel ini berkisah tentang bertemunya Bang Fuadi yang ditokohkan sebagai Alif, bertemu dengan belahan jiwanya. Itu yang membuatku merasa geli dan gemas setiap membacanya. Membuatku penasaran apakah calon mertuanya itu akan menyetujui pinangannya itu? Sayangnya ini lanjutan yang terakhir. Sebenarnya aku menanti buku lanjutannya, tapi yasudahlah, itu fungsinya syair Imam Syafii : "Merantaulah, kau akan mendapat pengganti kerabat dan kawan"

Negeri 5 Menara : Man Jadda Wajada... Siapa bersungguh-sungguh akan berhasil..
Ranah 3 Warna : Man Shabara Zhafira... Siapa yang bersabar akan beruntung..
Rantau 1 Muara : Man Saara Ala Darbi Washala... Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai tujuan