Innalilahiwainnailaihirajiun..
Salah satu teman sekolahku kemarin malam meninggal dunia..
Entah apa yang diinginkan kehidupan ini bila hanya diakhiri dengan kepergian tanpa berpamitan
Mungkin memang aku bukan teman yang kenal dekat dengannya. Tapi rasanya melihat sahabatku menangis begitu kehilangan membuat aku ikut terbawa suasana. Padahal rasanya aku bukan orang yang mudah menangis dengan hal-hal seperti ini. Yang aku tau bahwa kita hidup untuk mati. Kita mati karena kita hidup.
Pagi itu terlalu siang untukku menyimpan tas di bangku. Rasanya hari ini ada sesuatu yang aneh. Langit mendung dan bahkan sangat dingin menurutku. Datangnya sahabat ku yang lainnya, sebut saja namanya Acong (sebenarnya namanya memang Acong). Dia tertawa, setelah dia berada lebih dekat denganku, dia tengah menangis. Jarang sekali dia menangis seperti itu. Kemudian aku tanyakan ke sahabatku yang lain, sebut saja namanya Nisnud (lagi-lagi memang nama sebenarnya Nisnud) yang sedang mendampingi Acong. Aku bertanya "Kenapa?" .. "Khotib" "Hah??" "Khotib meninggal"
Pikiranku sejenak kosong. Rasanya baru kemarin anggota OSIS datang ke kelas kami untuk meminta sumbangan operasi Almarhum tapi kenapa dia malah pergi?
Aku langsung mengedarkan pandangku mencari tas sahabatku yang lain, sebut saja Cipa (namanya memang Cipa). Dia belum datang. Saat aku memastikan Acong sudah baikan aku mengajak sahabatku yang lainnya, Aley. Aku ajak Aley pergi ke luar kelas. Entah kemana. Berkali-kali Aley bertanya "Kita mau kemana? Kita mau ngapain?" Tapi aku hanya menjawab "Aku bingung. Aku bete." "Bete kenapa? Acong?" "Bukan" "Terus?" "Yaa bingung aja.."
Akhirnya aku memutuskan untuk membenahi kerudungku di kamar mandi tamu. Letaknya tidak jauh dari gerbang, sehingga aku bisa langsung menyambut Cipa saat dia datang. Rupanya, setelah aku keluar kamar mandi memang Cipa belum datang. Aku mengajak Aley kembali ke kelas. Letak kelasku "tusuk sate" dengan koridor Kantin, kalau ingin ke kelas pasti lewat Kantin dengan berbagai aroma yang menyenangkan perut karena masih pagi. Aku melihat di Kantin, Syahla, gadis manis cantik bertumbuh pendek dengan mata dan hidungnya yang sembab dan merah. Kami bertemu mata, kemudian aku segera menghampiri dia. Dia menghambur dan kembali menangis dengan begitu dalamnya. Aku memeluknya dan tak kuasa menahan air mata lagi. Rupanya batasku bisa menahan hanya sampai sini.
Aku tidak pernah kenal dia, tidak pernah berbicara dengannya, tapi kenapa aku merasa begitu sedih?
Aku memeluknya sambil berbisik sabar. Mengelus punggungnya yang mungil dan segera aku lepaskan pelukanku. Aku menyeka air mataku sebelum aku menjadi pusat perhatian siswa-siswa yang baru datang. Inez menghampiri dan berkata "Kaget yaa, cepet banget.."
Orang -orang baik biasanya akan dipanggil Allah secepatnya, atau dengan keadaan umur panjang.
Setelahnya aku sampai di kelas, lalu aku seperti orang linglung. Aku bingung aku harus melakukan apa. Kemudian aku keluar kelas dan menangkap sosok Cipa yang sedang menenteng helm dan jaketnya, menutupi wajahnya yang sudah merah jambu. Aku segera melihat mata sipitnya yang sembab. Dia menyambutku dengan sekilas senyum yang begitu menyayat. Air mataku tidak bisa terbendung.. Cipa adalah mantan Khotib. dan dia mengaku bahwa Khotib adalah mantan yang paling indah karena sholehnya. Cipa memang sudah punya pacar. Tapi sempat beberapa kali dia bercerita bahwa dia menyesal melepas Khotib, karena Khotib adalah sosok lelaki yang jumlahnya bisa dihitung jari di dunia ini. Baik, sholeh, berbakti pada orang tua, dan hal-hal lain yang membuat orang tuanya begitu bangga padanya.
Aku menangis karena Cipa menceritakan isi hatinya "Aku masih sayang sama Khotib.. Aku nyesel aku mau jenguk dia di rumah sakit tapi selalu ga sempet.. Dia bilang dia udah gabisa jadi pemain bola lagi.. Padahal itu hal yang paling dia mau.. Orang tuanya masih suka hubungin aku dan minta aku balikan sama Khotib.. Aku masih sayang sama dia.. Dia sempet bilang "aku ga kemana-mana, masih disini ko.."
Kata-kata itu mengalir begitu saja dengan suara yang tercekat dan membuat siapa saja yang mendengarnya merasa perih. Aku saja yang tidak kenal Khotib rasanya tidak ingin dia dipanggil begitu saja..
Lalu seketika aku ingat..
Malam saat Khotib meninggal. Aku sedang belajar matematika karena esok harinya aku harus ulangan. Saat itu masih jam 23.30. Semua orang di rumah sudah tidur, hanya aku yang masih terjaga karena sudah menabung tidur sebelum belajar. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka dengan sendirinya, diiringi dengan angin yang begitu dingin menusuk. Aku segera keluar kamar dan mencari sumber angin mana yang kiranya bisa membuka pintu kamarku.. Aku cek semua orang, sudah tidur dengan suara dengkuran khas masing-masing. Aku cek semua pintu dan jendela, sudah aku pastikan tidak ada yang terbuka. Ditambah dengan pendengaranku yang tidak terdengar sama sekali ada angin besar. Lalu aku menunggu fenomena apa yang bisa membuat aku menerima ini dengan akal sehat, aku tunggu di depan kamar, aku tunggu angin yang sama yang kiranya bisa membuka pintu ini. Tapi tetap saja tidak ada, malah suasana di luar kamarku lebih hangat, tidak mungkin jika angin sedingin itu melewati kamarku.
Mungkin.. Itu yang namanya firasat..
Setelahnya, aku merasa menyesal dengan kejadian ini. Kenapa harus terjadi dan membuat Cipa begitu sakitnya.. Kenapa harus ada yang tersakiti saat yang lain pergi.. Kenapa kita harus tabah dan tegar saat air mata sangat sulit untuk dikendalikan.. Kenapa semua yang baik begitu cepat berlalu..
Buku Rantau 1 Muara memang masih menjadi favoritku. Aku ingat ada bagian yang menceritakan seseorang yang sangat berarti untuk pemeran utama, meninggal dunia sebagai korban dari runtuhnya Menara WTC 11 September silam. Dari sana, aku belajar bagaimana menghadapi suatu kepergian yang tidak pasti. Suatu kenyataan yang buram.
Allahumaghfirlahu warhamhu waafihii wa'fuanhu. Amin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar