Jumat, 10 Mei 2013

Terhanyut Dunia Lain

Kali ini, bukan fiksi. Ini real story..

Ransel ini cukup berat kupikul. Kali ini kaki harus kuat ku seret sampai rumah.

Sampai pada akhirnya aku melihat bendera kecil seukuran 30x50cm. Warnanya kuning. Innalillahi, siapa yang mendapat giliran kali ini? Kali ini degup jantungku bagai genderang yang membuat langkah kakiku makin cepat ku langkahkan. Rasanya, aneh sekali. Semua rasa berkecamuk. Perasaanku mulai tak enak.

Beberapa meter dari rumah. Kenapa bendera kuning ini mengarah ke arah gang rumahku? Kenapa banyak sekali orang berpakaian hitam di depan rumahku. Baiklah, saatnya aku berlari. Tapi, aku disambut dengan banyak orang yang menatapku iba.

"Yang tabah yaa, Nak".

Aku segera masuk ke dalam. Aku melihat bungkusan kain putih yang aku yakin itu kafan, dengan balutan kain batik yang menutupinya. Tertulis 2 buah nama disana. Nama ayahku, dan nama kakekku. Ayah, secepat inikah?

Aku melihat ibu yang sedang menangis menatapku. Kakak laki-lakiku pun ikut merangkul ibu, menguatkan. Kakak perempuanku yang tengah direngkuh suaminya. Adik laki-lakiku, segera aku peluk dia yang tengah menangis.

Dengan segala ketabahan hati dan keikhlasan, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Ini adalah perpisahan yang paling abadi dan tak akan pernah bisa berubah. Semua orang pasti akan mati. Allahualam bissawab.

Aku merangkul ibu. Sambil berjalan menuju tempat pembaringan ayah yang terkahir. "Sudah, Bu. Ikhlasin ayah. Supaya ayah ringan jalannya disana". Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Takbir yang menggiring tubuh ayahku ini membuatku merinding.

Sesampainya di liang itu, barulah butiran air mata yang sedari tadi bergejolak mulai tumpah. Tak kuasa aku menahan perpisahan ini. Ayah, ayah, ayah. Melihat tubuhmu masuk kedalam liang itu, rasanya ingin aku menemanimu. Ya Allah, beri ayah kemudahan.

Sedari tadi, sama sekali aku tak melihat sinar matahari. Sendu sekali suasananya. Tangisanku mulai tak keruan. Aku memeluk ibu yang kali ini bergantian menguatkan. Tak terduga, kepalaku rasanya ingin pecah. Sungguh sakit sekali kepalaku. Hingga akhirnya, aku yang berlutut tepat di samping liang lahat ayahku ini, pingsan. Aku tau persis, aku akan jatuh ke dalam liang lahat ayah.

Aku segera duduk. Melihat selimutku yang sudah tergeletak di lantai. Aku meraih handphone-ku dan segera mematikan lagu Give Me One More Night, alarm. Hanya mimpi.

2 komentar:

  1. hah ternyata mimpi..
    udah bikin gemetaran deh.. :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, maaf, tapi garing dong terakhirnyaa :))

      Hapus